Konflik Rumah Ibadah Aceh Singkil: Kegagalan Regulasi dan Jalan Rekonsiliasi

0
489
Dok. Foto BBC News Indonesia (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50471436)

Aceh Singkil, sebuah kabupaten kecil di ujung barat Indonesia, kembali menjadi sorotan nasional karena persoalan rumah ibadah. Konflik yang sempat memanas pada tahun 2015 bukan sekadar benturan antarumat beragama, melainkan cerminan dari persoalan struktural: regulasi yang diskriminatif, kegagalan negara mengelola keberagaman, serta kurangnya perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dari dua podcast yang diangkat oleh El Bukhari Institute (EBI) yang didukung oleh Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI), muncul narasi penting tentang peran pemuda lintas iman, celah dalam hukum, dan harapan atas lahirnya kebijakan baru yang lebih adil dan inklusif.

Akar konflik bermula ketika aturan tidak mewakili keadilan,Pada Oktober 2015, pecah kekerasan di Aceh Singkil akibat penolakan terhadap keberadaan gereja yang dianggap tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tragedi ini menyebabkan satu korban jiwa dan pembakaran beberapa rumah ibadah. Namun di balik itu, ada tumpukan ketidakadilan yang berkepanjangan.

Kevin Padang, aktivis pemuda lintas agama dari Pelita Singkil, menjelaskan bahwa konflik ini berpangkal dari regulasi diskriminatif. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 menetapkan syarat pendirian rumah ibadah yang lebih berat dibanding aturan nasional, yakni 140 jemaat dan 110 dukungan warga sekitar, sementara Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 hanya mensyaratkan 90 jemaat dan 60 dukungan. Ketentuan ini tidak hanya tidak kontekstual, tetapi juga membuka ruang manipulasi politik berbasis mayoritas-minoritas.

Aceh Singkil dihuni oleh sekitar 15.000 jiwa umat Kristen. Namun, sejak kesepakatan tahun 1979, hanya ada enam gereja yang diakui secara “legal.” Padahal, pertumbuhan penduduk dan persebaran geografis masyarakat Kristen tidak lagi sesuai dengan batas-batas kesepakatan tersebut. Salah satu contoh nyata, sebuah desa yang dihuni oleh 78 warga Kristen dengan hanya satu keluarga Muslim tetap diminta membongkar gerejanya karena tidak memiliki IMB. Ini menunjukkan betapa aturan tersebut tidak mempertimbangkan konteks lokal dan kebutuhan riil masyarakat. “Masalahnya bukan pada agama, tetapi pada sistem yang tidak mampu mengakomodasi keadilan,” tegas Kevin.

Negara yang absen dan kepemimpinan yang lemah adalah kegagalan negara yang terlihat nyata dalam penanganan pasca-konflik. Tidak ada program trauma healing bagi korban, bahkan proses verifikasi IMB yang diajukan untuk 13 gereja sejak 2016 terus-menerus dibatalkan tanpa penjelasan. Hal ini memperkuat trauma kolektif, dan memperpanjang ketegangan sosial yang seharusnya bisa diredakan dengan kebijakan yang berpihak pada keadilan.

Di sisi lain, Abdul Karim Munthe, pakar hukum dan peneliti kebijakan public dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), menyoroti bahwa kelemahan mendasar ada pada PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Ketentuan jumlah jemaat dan dukungan warga dianggap tidak sesuai dengan konteks geografis Indonesia, terutama daerah terpencil seperti Aceh Singkil. “PBM ini tidak mampu menjawab kompleksitas lokal dan justru dipakai untuk menghalangi hak konstitusional warga minoritas,” ujar Abdul Karim.

Dalam situasi serba sulit, secercah harapan datang dari inisiatif pemuda lintas iman yang membentuk Pelita Singkil pada tahun 2017. Kelompok ini aktif membangun ruang-ruang dialog antarkomunitas dengan cara sederhana namun bermakna yaitu silaturahmi antar-kampung, diskusi lintas keyakinan, hingga kerja-kerja kolaboratif saat perayaan hari besar keagamaan. Meskipun minim dukungan dari pemerintah dan tanpa pendanaan memadai, Pelita Singkil berhasil menjadi jembatan sosial yang mengurangi ketegangan, bahkan saat momen krusial seperti Pilkada 2018. Inisiatif ini membuktikan bahwa pemuda bisa menjadi agen perdamaian, asalkan diberikan ruang dan dukungan.

Abdul Karim juga menyoroti peran Qanun Aceh yang memperparah eksklusi administratif. Selain syarat jumlah jemaat dan dukungan warga, proses IMB di Aceh membutuhkan rekomendasi dari lima level institusi berbeda sebagai sebuah prosedur yang berbelit dan membuka ruang bargaining politik. Di sisi lain, pemerintah daerah juga kerap tunduk pada tekanan kelompok intoleran, alih-alih menegakkan hukum dan melindungi semua warganya.

Menurutnya, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi rumah ibadah yang mempertimbangkan aspek geografis, demografis, dan keragaman denominasi. Misalnya, gereja kecil di desa terpencil tidak bisa disamakan syaratnya dengan rumah ibadah di perkotaan. Selain itu, kepala daerah harus punya keberanian politik untuk memfasilitasi pendirian rumah ibadah di lokasi alternatif jika syarat formal sulit terpenuhi.

Kebutuhan mendesak untuk sebuah payung hukum baru,Kedua narasumber sepakat bahwa Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 sudah tidak relevan. Kebijakan ini terlalu normatif dan tidak sensitif terhadap konteks lapangan. Indonesia, sebagai negara plural, memerlukan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang lebih progresif bukan hanya untuk menjamin kebebasan beribadah, tetapi juga untuk membangun sistem yang adil dan mencegah konflik horizontal. Hukum yang adil tidak hanya memberi perlindungan, tetapi juga menciptakan rasa aman dan kesetaraan di tengah keberagaman. Inilah yang selama ini absen dalam konteks Aceh Singkil.

Konflik di Aceh Singkil seharusnya menjadi pengingat bahwa moderasi beragama tidak bisa hanya jadi slogan. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan konkret yang menjamin ruang ibadah bagi semua, tanpa kecuali. Negara wajib hadir dengan keberanian dan keadilan, bukan dengan kompromi terhadap kelompok yang mendikte atas nama mayoritas.

Inisiatif seperti Pelita Singkil menunjukkan bahwa rekonsiliasi bisa dimulai dari bawah dari ruang-ruang kecil perjumpaan dan percakapan setara antarwarga. Namun, rekonsiliasi akar rumput tidak akan cukup tanpa dukungan struktural dari negara: regulasi yang adil, pemimpin yang berpihak, dan sistem hukum yang menjamin perlindungan terhadap minoritas.

Konflik rumah ibadah bukan soal siapa yang mayoritas atau minoritas, tetapi tentang keadilan, kepemimpinan, dan keberanian negara mengelola keberagaman. Aceh Singkil menjadi cermin penting untuk mengevaluasi ulang kebijakan, membangun dialog lintas iman, dan menjamin hak beribadah sebagai hak dasar setiap warga negara.

Untuk mendengarkan cerita lebih utuh, kunjungi:
https://www.youtube.com/watch?v=Dc4UL8A0pXA | Upaya Anak Muda Bawa Aceh Singkil Damai Kembali (Podcast BAHIS Episode 10 Part 2)
https://www.youtube.com/watch?v=FxUkp6uswEo | Bagaimana agar Aturan Membuat Rumah Ibadat di Indonesia Lebih Baik? (Podcast BAHIS Episode 8)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini